Tuesday, July 29, 2008

Praliterasi, Literasi, dan Posliterasi

Ini adalah artikel dari seorang sahabat lama, dulu kami sama-sama "penghuni" Gedung Kayu Salman ITB.
Judulnya memang Praliterasi, Literasi, dan Posliterasi. Intinya: tiga hal itu bukan tahapan atau fase di mana yang satu "wajib" bermetamorfosa menjadi yang lain, tetapi potensi besar Indonesia. Inti dari Intinya. Kenali Diri Sendiri, Jadilah Diri Sendiri, Berbuatlah Sesuai Energi Minimalmu. Jangan Jadi Orang Lain. Betul nggak sih, Al?

Lebih Senang Dikontak Guru Ketimbang Pejabat

disadur dari:
http://www.bangkabelitungprov.go.id/content/view/146/5/lang,id_ID/

“Lebih Senang Dikontak Guru Ketimbang Pejabat”

Pengantar Redaksi

Buku Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov merupakan karya Andea Hirata Seman yang mencengangkan banyak orang di negeri ini. Tiga buku, minus Maryamah Karpov, meledak di pasaran. Selain di Indonesia, Laskar Pelangi juga diterbitkan di Malaysia, Singapura, Spanyol, dan beberapa negara Eropa lainnya.

Akan tetapi, melihat kondisi sosial kampung di Belitong, ia merasa sangat kecewa dengan apa yang telah dilakukan pemerintah Kabupaten Belitong Timur selama ini. “Pemerintah Kabupaten Beltim sama sekali tak punya konsep learning society dan tak mampu berpikir sampai ke tingkat kultural edukasi.”

Akibat tak punya learning society itu, kata Andrea, Pemkab Belitong Timur seolah membiarkan menjamurnya tempat-tempat maksiat model baru nun di hutan dan semak-semak pinggiran kampung, kafe hutan istilahnya. Di sanalah orang-orang muda terorientasi. “Saya kira hal ini mencoreng identitas kita dan itulah wajah learning society Beltim khususnya di kampung saya di Kecamatan Gantung. Jika Anda ke sana, Anda akan disambut sebuah papan iklan minuman keras yang sangat besar, jauh lebih besar dari papan reklame ekowisata Beltim di sebelahnya yang miring, kumal, dan menyedihkan,” papar Andrea.

Andrea Hirata, yang dalam buku itu dikisahkan sebagai Ikal, berasal dari keluarga kurang mampu. Ayahnya, Seman Said Harun Hirata (75), adalah pensiunan pegawai rendahan di PN Timah, sementara ibunya, Masturah (72), adalah ibu rumah tangga. Empat abang dan satu adiknya menekuni profesi seperti umumnya kaum marjinal di Belitong.

Berikut wawancara Nasrul Azwar dari Metro Bangka Belitong dengan Andrea Hirata.

Bisa digambarkan secara umum sejauh mana pengaruh dan dampak tiga novel Anda yang Anda ciptakan itu terhadap masyarakat Belitong?

Memantau pengaruh sebuah karya tulis apalagi karya sastra di sebuah bangsa yang tak gemar membaca itu tidak mudah. Apalagi di Belitong di mana minat baca sangat rendah. Di Indonesia, saya percaya sebuah karya tulis baru bergaung ke daerah jika telah lebih dulu bergaung di kota-kota besar. Tetralogi Laskar Pelangi mulai ditanggapi di Belitong setelah tampil di berbagai media cetak dan elektronik nasional, dan karena rencana pembuatan film Laskar pelangi. Tanggapan itupun sifatnya masih euforia seperti Pemda setempat mengundang untuk diskusi buku, workshop penulisan di sekolah-sekolah, dan saya diundang oleh PGRI Belitong Timur.

Pengaruhnya? Secara signifikan belum terlihat, baru berupa pengenalan saja. Jika pihak terkait (Pemda dsb) mampu menerjemahkan moment tetralogi Laskar Pelangi ini dengan baik dan mampu membuat desain yang cerdas bagaimana memanfaatkan tetralogi Laskar Pelangi sebagai education and cultural icon di Belitong. Saya yakin pengaruhnya pasti segera terlihat. Smart, itulah kata kuncinya.

Tiga buah novel yang diterbitkan Bentang, yaitu Laskar Pelangi (terjual 200.000 eksemplar), Sang Pemimpi (30.000 eks), dan Edensor (15.000 eks), dan itu jumlah yang sangat fantastik di Indonesia . Bagaimana komentar Anda?

Tetralogi Laskar Pelangi bercerita tentang orang Indonesia kebanyakan. Sehingga pembaca melihat dirinya sendiri dalam karya itu. Karena itu tetralogi Laskar Pelangi mendapat acceptance (penerimaan) yang luas. Saya senang buku-buku yang tidak metropop semacam Laskar Pelangi ini bisa juga best seller, namun yang lebih penting bagi saya bagaimana membuat buku yang memiliki tingkat acceptance yang besar sekaligus tingkat literary yang tinggi. Dalam bahasa industrinya: bagaimana membuat karya bermutu sekaligus laku, mematahkan mitos paradoks buku Indonesia di mana buku yang bermutu sering tak laku.

Untuk Laskar Pelangi, kabarnya novel ini menjadi best seller di Malaysia dan Singapura. Lalu negara Spanyol dan beberapa negera Eropa lainnya juga berminat menerbitkannya. Apa yang Anda ingin katakan untuk ini?

Fantastik! Itu saja kata saya. Setiap penulis (mengaku atau tidak) memiliki keinginan agar karya-karyanya dibaca orang banyak. Sebagai penulis pemula yang tengah belajar menulis sastra, saya rasa rencana-rencana ini sangat fantastik, Insya Allah lancar.

Dan untuk Laskar Pelangi direncanakan akan difilmkan dengan sutradara Riri Reza, apakah Anda yakin "ruh" novel itu tak bergeser ketika ia menjadi karya sinematik?

Saya melihatnya dari sisi lain, jika filmnya sama persis dengan bukunya buat apa bikin film? Baca saja bukunya dan silakan pembaca membuat filmnya sendiri dalam kepala mereka masing-masing. Saya mendapat ribuan E-mail, SMS, telepon, dan surat dari pembaca yang menolak Laskar Pelangi difilmkan. Namun, ingin saya katakan bahwa dimensi apresiasi film dan buku serta kapasitas artistiknya sama sekali berbeda. Saya harap para pembaca memaklumi keadaan ini. Saya menampilkan Laskar Pelangi dalam buku dan Riri Riza filmnya, biarlah komplit dan kita lihat saja hasilnya. Saya bebaskan Riri Riza berkreasi. Saya percaya penuh padanya. Ia salah seorang sutradara muda paling berbakat negeri ini, dan satu dari sedikit saja sutradara yang punya integritas.

Bisa diceritakan proses kreatif Anda untuk melahirkan 3 novel itu?

Spontan, demikian filosofi kreativitas saya. Saya tak perlu waktu khusus untuk menulis dan tak perlu bersusah-susah menyiasati mood. Saya tak tergantung mood, dan selalu berusaha belajar menjadi pribadi yang efektif.

Novel-novel yang Anda tulis (terutama Laskar Pelangi) semula didedikasikan untuk guru Ibu Muslimah Hafsari. Bisa diceritakan kesan yang paling membekas bersama Ibu Muslimah Hafsari saat di sekolah dasar itu sampai sekarang?

Kesan yang paling membekas adalah bagaimana beliau selalu berhasil membuat kami murid-muridnya untuk mencintai ilmu. Dengan beliau, mata pelajaran apapun tak pernah menjadi beban. Pekerjaan rumah adalah hiburan, ulangan adalah petualangan dan tantangan yang menyenangkan.

Bagaimana nasib sekolah dasar Muhammadiyah itu saat ini?

Sekolah itu telah roboh tahun 1991, dan tak pernah dibangun lagi

Royalti yang diterima cukup besar, tidak ada rencara membagun pustaka sejenis ini di Belitong?

Menurut saya, perpustakaan adalah konsep yang keliru bagi masyarakat yang tak gemar membaca bahkan antibuku. Saya punya konsep sendiri, yaitu learning centre. Learning centre tak lain tempat orang datang untuk belajar dan buku-buku yang ada di dalamnya mendukung tujuan belajar spesifik. Bentuk learning centre itu misalnya workshop tiga hari mengajari orang Belitong membuat gerabah dengan guru-guru yang didatangkan dari Jogjakarta. Giliran berikutnya bagaimana industri gerabah diciptakan di Belitong.

Saya akan mengalokasikan royalti buku dan film Laskar Pelangi untuk membuat sebuah program yang saya sebut “Laskar pelangi in action”. Learning centre dalam “Laskar pelangi in action” tahun ini berupa bimbingan belajar intensif gratis matematika, fisika, kimia, biologi, dan bahasa Inggris bagi siswa-siswa kelas 3 SMA dari Belitong yang akan mengikuti SPMB. Cita-cita saya adalah ide “Laskar pelangi in action” menginspirasi dan ditiru orang lain sehingga menjadi seperti MLM intelektualitas, dan mudah-mudahan “Laskar pelangi in action” bisa menjadi sebuah model learning society.

Kaum intelektual muda dan tua Bangka Belitong yang ingin bergabung dengan “Laskar pelangi in action” sebagai relawan pengajar atau membantu apa saja, silakan hubungi saya.

Tokoh-tokoh dalam 3 novel itu pada intinya berjuang dan berjuang untuk mewujudkan mimpi masa depan. Bagaimana Anda melihat hal ini pada pelajar dan kaum muda di Belitong saat kini?

Tidak bisa gegabah menghakimi sebuah generasi. Saya tak pernah tahu masa lalu, jangan-jangan orang jaman dulu juga pemalasnya minta ampun. Saya tak punya data ini dan tak pernah merisetnya. Tokoh-tokoh dalam novel saya berjuang sebab jika tidak berjuang tak bisa makan atau tak bisa sekolah. Setiap generasi punya persepsi, value, style, dan karakternya masing-masing sesuai lingkungannya.

Namun di Belitong saya melihat minat orang muda untuk maju besar. Di Tanjungpandan banyak anak muda kreatif yang telah mampu membuat video klip dan bermain musik dengan kemampuan mengejutkan, menulis musik sendiri, merekamnya, dan menyerahkan karyanya pada saya untuk dipertimbangkan menjadi soundtrack film Laskar Pelangi, sangat mengesankan hasil karya mereka.

Orang muda Belitong menyerap dengan mudah apa-apa yang berasal dari kota, namun kemajuan mengarah pada hedonisme bukan pendidikan. Persepsi kejayaan dicitrakan sebagai implikasi materi dan politik oportunistik. Belakangan orang-orang muda Belitong memiliki nature yang cenderung politikal. Saya melakukan riset langsung dan mendapatkan fakta yang mencengangkan bahwa jumlah tamatan SMA Belitong yang dikirim orangtuanya untuk kuliah ke Jawa meningkat dramatis, namun jumlah mereka yang berhasil lulus SPMB terjun bebas. Dalam bahasa kasarnya dapat disebut orang-orang Belitong makin kaya namun anak-anaknya makin tak mampu secara akademik.

Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Beltim misalnya (yang saya amati langsung) sama sekali tak punya konsep learning society dan tak mampu berpikir sampai ke tingkat kultural edukasi. Dari bertubi-tubinya benchmark atau studi banding yang mereka lakukan apakah mereka tak pernah belajar dari Jogjakarta, misalnya yang memulai leraning society di gang-gang kampung dengan mencanangkan jam belajar masyarakat dari pukul 19.00-22.00. Lalu, jika di kota-kota lain kita disambut berbagai slogan yang penuh integritas ketika masuk kota tentang takwa, iman, dan bersih, dan belajar. Masuk kampung saya di Kecamatan Gantung di Belitong Timur (Beltim), Anda akan disambut sebuah papan iklan minuman keras yang sangat besar, jauh lebih besar dari papan reklame ekowisata Beltim di sebelahnya yang miring, kumal, dan menyedihkan. Lalu muncul menjamur (juga di Beltim) tempat-tempat maksiat model baru nun di hutan dan semak-semak pinggiran kampung, kafe hutan istilahnya. Di
sanalah orang-orang muda terorientasi. Saya kira hal ini mencoreng identitas kita dan itulah wajah learning society Beltim khususnya di kampung saya.

Bagaimana Anda membaca perkembangan pemuda, mahasiswa, pelajar, dan generasi muda Bangka Belitong pasca menjadi provinsi ke 31 ini? Dan apa bedanya sebelum menjadi provinsi?

Saya tak memiliki data ini dan tak pernah merisetnya.

Nilai-nilai tradisi Melayu di Belitong dan Bangka Belitong umumnya, terkesan tergerus karena perkembangan zaman, selain itu strategi pengembangan dan pelestariannya oleh pemerintah terkesan sangat kurang. Bagaimana Anda membaca ini?

Saya juga tak punya data tentang ini dan tak mau sok tahu dengan berandai-andai, namun sikap saya sedikit banyak telah terwakili dari pernyataan saya tentang identitas orang Melayu sebagaimana saya sebutkan di atas.

Tampaknya militansi dan kerja keras untuk meraih mimpi masa depan semakin mengecil di dalam spirit kaum muda Bangka Belitong, apakah ini terkait juga dengan pola hidup budaya malas yang umumnya dilakoni masyarakat Melayu?

Ha, ha, menarik, saya sendiri baru belakangan tahu jika ternyata orang luar melihat kita begitu. Saya sempat tergelak dengan stereotype orang Melayu pemalas itu. Bagaimana saya tak tahu dan tak menyadari hal itu selama ini? Kita dan bagaimana persepsi orang tentang kita, seperti ikan yang tak menyadari dikelilingi air untuk hidup. Saya belajar introspeksi, berdasarkan persepsi itu saya segera memperhatikan attitude anggota keluarga saya sendiri, para ponakan dan sebagainya, lalu saya mengambil kesimpulan: sedikit banyak stereotype itu ada benarnya.

Keberhasilan Anda di dunia sastra memberi spirit baru bagi masyarakat Bangka Belitong, apakah Anda pernah ditelepon atau dikontak bupati, gubernur, atau pejabat lainnya di Bangka Belitong?

Saya sering dikontak beberapa orang yang mengaku dirinya pejabat baik di Bangka atau di Belitong, dari berbagai instansi atau wakil rakyat. Saya tidak menyukai pembicaraan politik, ide-ide politik, dan segala remeh temeh basa-basi retorikal ala politisi. Saya kira dari pada repot-repot mengontak saya lebih berguna jika mereka menggunakan waktu mereka untuk membuat spanduk dan kalender. Saya sama sekali tak berminat pada politik. Saya orang yang free, non partisan, non sekterian. Dengan demikian saya bisa obyektif dan tetap tajam dengan kritik-kritik sosial saya, dan kritik sosial itu adalah tugas saya, moral responsibility saya sebagai seorang penulis dan pengamat sosial. Dalam sebuah sistem yang dinamik para politisi mesti memahami orang-orang semacam saya sebagai bagian dari kontrol sosial. Saya kira saya lebih senang jika dikontak seorang guru di pedalaman Belitong daripada para pejabat itu.

Apa komentarnya Anda tentang Tambang Inkonvensional (TI) yang demikian banyak di Bangka Belitong ini?

No comment

Apa komentar Anda tentang pemerintah Kabupaten Belitong dan PT Timah?

Tentang pemerintah Kabupaten Belitong sedikit banyak pandangan dan aroma kritik sosial juga pujian telah saya tiupkan di atas. Dan tentang PT Timah, semoga lebih gencar dengan program CSR (Corporate Social Responsibility) terutama CSR pendidikan. Saya kira setiap BUMN diwajibkan untuk melakukan CSR.

Dari royalti buku yang demikian besar itu, apa rencana Anda untuk masyarakat Belitong?

Semua rencana itu tercakup dalam “Laskar pelangi in action”

Apa untuk mencapai sukses seperti yang Anda nikmati sekarang, kita harus miskin dulu? Bagaimana Anda menjelaskan hal ini?

Tidak ada hubungan antara kemiskinan dan kesuksesan. Banyak orang kaya jadi miskin, orang kaya makin kaya, dan orang miskin makin miskin. Tapi yang banyak terjadi adalah adalah orang kaya berwawasan miskin. Hubungan kaya, miskin, dan sukses adalah semata persoalan integritas, sikap, dan mentalitas



Bagaimana kabar A-Ling dan Arai? Di mana mereka sekarang?

Ikuti cerita mereka di novel terakhir tetralogi Laskar Pelangi berjudul Maryamah Karpov yang akan terbit usai pembuatan film Laskar Pelangi.

Apakah Anda tak berniat belanjutkan studi ke S3?

Berminat

Provinsi Kepulauan Bangka Belitong yang kini baru berusia tujuh tahun sejak resmi jadi provinsi tahun 2000. Apa yang ingin Anda katakan terhadap jalannya roda pemerintahan selama 7 tahun itu?

Mengelola daerah bukanlah pekerjaan mudah, tak bisa dipungkiri, tampak jelas kemajuan sana-sini setelah menjadi provinsi sendiri. Saya tidak akan bicara seperti seorang politisi, yang ingin saya katakan/tanyakan hanya: mengapa ya sepertinya (khususnya di Belitong) makin banyak orang dewasa yang tak pandai mengaji Al-Qur'an? Bagaimana ya agar masjid-masjid kembali menjadi seperti oase bagi anak-anak kecil seperti masa kecil saya dulu? Tanggung jawab pemerintahkah ini? Bagian dari pembangunankah ini? Parameter dari kemajuan Babel 7 tahun itukah ini? Saya tak tahu.

Dan saya ingin pula menyampaikan bahwa saya telah mengunjungi banyak tempat di Indonesia, namun baru di Belitong saya menjumpai nama asli daerah dibahasaindonesiakan. Sehingga terkesan konyol misalnya Aik Kelik menjadi Air Keli (Kelik sesungguhnya adalah ikan lele). Saya mengunjungi tempat dengan nama yang amat susah ditulis, dieja, dan diucapkan. Di Aceh misalnya Ueleuleu, namun sedikitpun mereka tak merubahnya karena orang Aceh bangga akan nama daerahnya. Menurut saya pembangunan di Babel musti dimulai dari kebanggaan akan identitas kita sendiri, dan saya harap ada kebijakan Pemda Babel untuk mengembalikan nama daerah ke nama-nama aslinya.

Apakah Anda melihat para pejabat masih terkesan eforia pasca menjadi provinsi?

Saya jarang menyaksikan tabiat mereka karena saya tinggal di Jawa.

Bagaimana penilaian Anda terhadap pembangunan yang dilakukan selama ini, khususnya di Belitong?

Sangat baik, saya melihat kemajuan di sana-sini, fisikal terutama, spiritual? Mental? Masih pertanyaan besar, iklan minuman keras di gerbang kampung saya, kafe-kafe hutan, dan data edukasi saya tadi saja contohnya.

Kabarnya Anda pulang kampong ketika Hari Raya Idul Adha, apa yang Anda lakukan di kampong?

Memperbaiki toilet di rumah ibu saya yang meluap-luap, atap bocor di mana-mana

Di bidang pendidikan tinggi apakah sudah sangat perlu didirikan perguruan tinggi setingkat universitas di Bangka Belitong?

Diperlukan penelitian lebih lanjut, mendirikan pesantren, pusat studi Islam, tempat orang belajar mengaji saya kira jauh lebih urgent.

Setelah Sabron Aidit (almarhum), tampaknya Anda penerus sebagai sastrawan dari Belitong.

Saya amat respek pada almarhum tapi saya belum berani menyebut diri saya ini sastrawan, ada konsekuensi besar menjadi seorang sastrawan yang tak sembarang orang mampu memanggulnya.


__________________________________________________________
Gesendet von Yahoo! Mail.
Dem pfiffigeren Posteingang.
http://de.overview.mail.yahoo.com

Saturday, July 19, 2008

Foto bersama Eyang




di http://adnafathani.multiply.com/journal/item/40/Ada_Eyang diceritakan Eyang Adna dan Adam bulan Juni mengunjungi Suzhou. Ini foto-fotonya. Bulan Agustus insya Allah Adna dan Adam bertemu lagi dengan Eyang Kakung dan Eyang Putri di Jakarta.


__________________________________________________________
Gesendet von Yahoo! Mail.
Dem pfiffigeren Posteingang.
http://de.overview.mail.yahoo.com

Dementor

di sini ada blog yang kocak tentang Dementor, tokoh rekaan dalam kisah Harry Potter. Barangkali saja bisa jadi sarana analisis atau bahkan introspeksi? Atau barangkali ada pakar yang berminat membuat Dementorologi? :-)
Untuk Agung Mbot sang penulis, anda saya acungkan 20 jempol!

Wednesday, July 16, 2008

Anak TK Belajar Huruf & Angka, Penganiayaan Terselubung

dari sebuah milis:

Anak TK Belajar Huruf & Angka, Penganiayaan Terselubung

Pdpersi, Jakarta - Sebagian Taman Kanak-Kanak telah mengajarkan baca, tulis dan hitung (calistung). Selain melanggar ketentuan, hal itu juga dikhawatirkan akan berpengaruh negatif pada perkembangan jiwa anak bahkan
termasuk dalam tindak penganiayaan (abuse).

Demikian diungkapkan Seto di Jakarta, kemarin. Seto mengungkapkan, berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sidiknas) No 20 tahun 2003, TK masuk dalam sistem pendidikan anak usia dini (PAUD) dengan titik berat pembelajaran moral, nilai agama, sosial, emosional dan kemandirian. Semua nilai-nilai tersebut ditanamkan melalui metode pembiasaan.

UU tersebut, kata Seto, sama sekali tidak menyebutkan TK sebagai sarana persiapan bagi anak sebelum memasuki SD. Begitu pula dengan pembelajaran huruf dan angka, jelas-jelas tidak masuk dalam kurikulum TK. Sehingga,
pendidikan calistung dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap aturan. Namun, lanjut Seto, pada prakteknya, pelanggaran itu terjadi di sebagian besar TK. Hal itu ditenggarai terkait dengan tuntutan mayoritas SD yang mengharuskan calon siswanya telah menguasai calistung.

"Orang tua kemudian balik menuntut pengelola TK. Mereka ingin anaknya dipersiapkan seoptimal mungkin agar tidak terhambat masuk SD. Inilah lingkaran kekeliruan yang pada akhirnya menjadikan anak sebagai korban.
Akhirnya TK bukan menjadi sarana belajar sambil bermain, tapi belajar sambil menangis," kata Seto yang juga anggota Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).

Padahal, kata Seto, secara ilmiah anak-anak dibawah usia sekolah belum siap diajarkan calistung. Anak-anak TK tidak boleh dibebani target, melainkan diberi kesempatan bermain sepuas-puasnya. Sementara, pembelajaran
tentang nilai-nilai kehidupan diberikan dengan metode tematik yang mudah difahami. Seto menegaskan, sebagai upaya mengembalikan hak-hak anak yang dianggap kini terampas oleh sistem pendidikan yang salah, pada 2006
mendatang BSNP akan mengeluarkan regulasi yang merombak sistem pendidikan kelas satu hingga tiga SD. Aturan itu akan merubah sistem pembelajaran berpola tematik, seperti yang diterapkan pada murid TK. Pembahasan
pelajaran akan disederhanakan, disesuaikan sengan usia anak yang masih belia.

Aturan tersebut, kata Seto, kini tengah digodok BSNP dan rencananya tahun depan akan mulai disosialisasikan. Keputusan untuk merombak aturan tersebut didasarkan atas evaluasi BSNP pada muatan kurikulum yang saat ini
berlaku. Kurikulum saat ini dinilai terlalu berat, disertai target dan materi yang tidak sesuai dengan usia anak. "Sekarang ini sekolah menjadi kewajiban yang membebani anak. Padahal, sekolah dan belajar itu hak anak. Itu yang kerap kita lupakan," ujar Seto.

Berdasarkan pengamatan Media di sejumlah TK, selain diajarkan bernyanyi dan keterampilan unuk melatih motorik, setiap harinya murid-murid TK juga mendapat pendidikan mengenal huruf-huruf alfabet serta angka. Bahkan,
anak-anak yang masih berusia empat sampai lima tahun itu juga diharuskan berlatih menuliskannya dalam buku tulis seperti halnya murid SD.

Di TK Kartika Bojong Gede Kabupaten Bogor, seluruh muridnya telah terbiasa membawa buku tulis setiap paginya. Selama tiga jam bersekolah di TK, dari pukul tujuh hingga sepuluh pagi, mereka berlatih menulis dan membaca
hingga merangkainya dalam kata. Begitu pula dengan angka, selain menuliskannya, mereka juga dilatih pertambahan dan pengurangan sederhana.

"Alma sudah bisa baca sedikit-sedikit, diajar mama, tapi di sekolah juga belajar," kata Alma, seorang murid. Nani, orang tua Alma mengaku terkadang merasa kasihan pada anaknya karena kerap harus bersusah payah menghapal
dan menulis. Padahal, memegang pinsil saja, merupakan pekerjaan berat bagi anaknya yang belum genap lima tahun. Kendati begitu, Nani mengaku tak berani menyatakan keberatannya pada pihak sekolah. "Kalau dia tidak bisa
baca tulis, ya susah masuk SD. Semua SD yang ada di sekitar sini memberi tes baca tulis pada setiap anak yang mendaftar. Ada juga yang tidak, tapi SD-nya kurang bagus," kata Nani.

Seorang guru yang mengajar di sebuah TK di Bandung mengaku dirinya kerap harus mengelus dada melihat perjuangan yang harus dilalui anak didiknya saat diajari calistung. Padahal, untuk memusatkan perhatian saja,
murid-muridnya masih kesulitan. "Mereka masih sulit berkonsentrasi. Keinginan bermain jauh lebih besar. Saya sendiri tak tega, tapi ini sudah ketentuan sekolah. Padahal, dulu tidak begini, murid saya yang saya ajar
sepuluh tahun lalu tidak belajar calistung tapi sekarang sudah jadi orang semua," kata guru yang enggan disebut namanya tersebut.


__________________________________________________________
Gesendet von Yahoo! Mail.
Dem pfiffigeren Posteingang.
http://de.overview.mail.yahoo.com

Tuesday, July 15, 2008

In Memoriam, Prof. Said Djauharsjah Jenie, ScD, Ir

Lihat di sini

Indonesia sudah sepantasnya merasa kehilangan. Baru saja China mengumumkan akan meluncurkan pesawat regional ARJ-21 (yang sekelas dengan N2130) dan pesawat turboprop buatan industri pesawat terbang Xi'an, MA-600. Padahal lebih dari 10 tahun yang lalu kita sudah memulainya...

In Memoriam, Prof. Said Djauharsjah Jenie, ScD, Ir

Link

Indonesia sudah sepantasnya merasa kehilangan. Baru saja China mengumumkan akan meluncurkan pesawat regional ARJ-21 (yang sekelas dengan N2130) dan pesawat turboprop buatan industri pesawat terbang Xi'an, MA-600. Padahal lebih dari 10 tahun yang lalu kita sudah memulainya...