Saturday, January 24, 2009

Settle in Bandung

Kami masih mencoba settle di Bandung. Adna udah masuk SD Salman Alfarisi dan Mas Nano sudah bekerja rutin gak seperti kemaren yang seringkali masih disambi ngurus ini itu. Mas Nano sempet kaget dengan lingkungan kerja yang gak seserius teman-temannya di Qimonda/Infineon dulu. Kalau lagi rapat juga seperti bincang-bincang di dalam kelas kuliah. Dan hierarki atasan dan bawahan kebetulan disini gak gitu kentara. Semuanya egaliter mungkin corak kampusnya masih kental. Dan yang membuat mas Nano senyum-senyum, sekarang ada emang-emang yang nganterin nasi bungkus ke mejanya dan tentu juga kopi atau teh manis yang bisa kapan saja dipesan dan datang sendiri ke mejanya. Karena kebiasaan bikin kopi sendiri, eh walhasil si sekretaris tergopoh-gopoh untuk membuatkan buat mas nano. Kejadian kecil sih, tapi cukup mengingatkan bahwa inilah mungkin bedanya antara kerja di jerman dan di Indonesia.

Saya sendiri pertama kali menginjakkan kaki ke Bandung, memang belum prepare untuk melakukan aktivitas di luar rumah yang rutin. Karena saya masih ingin melihat situasi transisi pada anak-anak berjalan lancar dulu. Tinggal di rumah, sambil mengerjakan pekerjaan RT sambil ngurus anak ternyata di kompleks kami yah hanya saya sendiri. Walhasil temen ngobrol saya adalah si embak-embak para asisten RT yang kebetulan bertugas jaga anak-anak para ibu-ibu yang kebetulan rata-rata bekerja di luar rumah. Berbeda dengan gaul saya di Jerman dulu, yang ketika sama-sama mengasuh anak mereka adalah ibu-ibunya sendiri. Tentu saja arah pembicaraan bisa lebih berkembang karena kita punya concern yang sama tentang perkembangan anak dan bagaimana memanage RT.

Namun tak apa, inilah Indonesia, dan tentu saja kita harus beradaptasi. Ketika saya sudah menemukan asisten yang part time, maka saya mulai untuk melirik 'dunia luar'. Mulailah menyambangi kampus dulu. Ada perasaan gak karuan ketika ketemu dosen dan mereka mulai bertanya, "Eh, Anda sedang dalam rangka liburan ya?". Dengan malu-malu saya bilang, " Enggak Pak, saya memang sudah pulang dan tinggal di Indonesia lagi". "Terus sudah bekerja dimana?", tanya si Pak Dosen (direct banget yak). Kembali saya jadi makin tertekan, "Belum Pak, saya sendiri masih cari-cari info...!". "Kenapa pulang?" tanya beliau lagi. "Gak apa-apa Pak, nanti kalau kelamaan takutnya jadi orang Jerman", jawabku sekenanya karena udah mulai kesel. Itu kan pertanyaan yang jawabannya berat dan panjang lebar yang memerlukan situasi yang tenang gak pas lagi dia kebetulan bolak-balik karena harus rapat atau harus ke ruang lain.

Tapi memang untuk start awal, mungkin kita harus mempertebal mental. Tapi tak sedikit juga dosen-dosen yang mendukung kepulangan kami dan membicarakan hal-hal yang memang kami butuhkan. Dan ketemu dengan temen-temen yang kelihatan mapan juga menjadi hiburan tersendiri. Sangat senang. Apalagi ketika mereka bercerita bagaimana dulu dia start awal sebagai seorang pegawai negeri dengan gaji pokok kurang dari 1 juta rupiah. Tapi dia bisa nyambi ngajar di universitas lain. Belum lagi dia dapat kesempatan kuliah lagi sampai  S3 di ITB dari instansinya. Terus proyek-proyek di dalam instansinya yang kebetulan datang berantai.

Selain itu saya juga nyambangi teman-teman yang sedang mengelola LSM pendampingan pemerintah daerah dalam membangun sistem yang anti korup. Mereka kebetulan selalu mendapat tawaran program-program dari NGO-NGO luar negeri dan bahkan LSM mereka sudah diminati oleh volunter-volunter luar negeri. Aku perkirakan volunter-volunter yang gadis-gadis kulit putih manis-manis itu adalah para mahasiswa yang ngambil studi comunity development di negara ke-3.

Entahlah, daftar kesempatan aktivitas mungkin bisa panjang....tinggal keputusan diri masing-masing mau terjun kemana?. Dan aku pun masih dalam proses itu.

Sunday, January 04, 2009

The Miracle Travel

Sekelumit cerita gimana kami mempersiapkan proses kepindahan untuk pulang ke Indonesia yang boleh dikatakan mendadak. Akhir November ketika ada isu keras yang menimpa Qimonda dan akhirnya menimbulkan banyak spekulasi-spekulasi, maka Mas Nano waktu itu bilang, Wah seandainya....kita mau deh.....Kalimat itu ditujukan Mas Nano baik ke Qimonda maupun ke Pak Trio (dosen Elektro ITB) yang waktu itu menawarkan kerja proyek design IC di PAU ITB. Meskipun kalimat-kalimat itu seolah-olah berandai-andai di depanku tak mengapalah, toh aku hanya bisa jadi pendengar yang baik.

Dan ternyata andai-andaian itu seolah-olah didengar, dan betul-betul terwujud. Aku hanya bilang, yah sudah mengandaikan dan sudah terwujud apakah masih mau mengingkari? meskipun jika mengingkari pun tak ada yang marah dan dirugikan lagian andaian itu juga bukan nazar hehhee, akupun hanya bisa tersenyum melihat kejadian ini. Namun mungkin Allah menakdirkan kami untuk mengikuti pengandaian itu.

Mulailah kami bergerilya untuk memilih dan memilah barang-barang mana saja yang baik untuk dibawa. Dari alat-alat elektronik kami menyeleksi watt-nya yang kira-kira di atas 1000 watt kami singkirkan (ternyata di Indo rumah kontrakan kami sampe 3500 watt, jadi sedih ngebayangin vacuum cleaner yang udah dilego). Vacuum cleaner, setrika, electric grill, dll. Terus barang yang volumenya gede juga gak mungkin dibawa misal sofa, meja, sepeda, TV, sound system karena. Dua minggu sebelum pesawat take off kami masih menggelar garage sale. Karena container baru datang 2 hari sebelum keberangkatan kami.

Meski di china tak ada flohmarkt ataupun ebay, cukup lewat milis ekspat alhamdulillah pembeli berdatangan ke rumah kami untuk membeli barang-barang murah yang bagaikan dibagikan cuma-cuma (sangking murahnya). Si Adna sampai teriak kegirangan dia bilang, "Horee Meine Mami is eine Verkauferin, Ich will Frau Koenig (gurunya)sagen...!", akupun hanya tersenyum kelu.

Akhirnya container datang, karena takut kelebihan volume yang mengakibatkan melampaui batas bugdet maka semua baju tak diikutkan. Kebetulan baju kebanyakan baju untuk winter dan banyak pula baju anak-anak yang sudah kekecilan. Ketika container berangkat, dan kami harus berjuang keras mengepak sisa-sisa barang yang hanya dikasih jatah 85 kg yang harus dibagi untuk 4 koper.

Aku hampir desperate, karena dengan 4 koper besar tentu saja jauh melampaui 85 kg. Padahal baju-baju sudah berkurang drastis. Ternyata Mas Nano membawa dokumen-dokumen sampai 30 kg, jadi jatah baju dll hanya 50 kg. Ini bagaikan meninggalkan 1 koper. Akhirnya kami seleksi lagi dan dikirim lewat pos. Ternyata barang-barang printil yang penuh kenangan seperti foto-foto jaman baheula dimana belum ada foto digital, ternyata ngumpet sehingga tak masuk container. Alih-alih udah kecapean akhirnya kami menyerah dan mau memposkan lagi keesokan hari sebelum check in. Kantor pos tentu saja ada di airport, itula solusi yang lagi terpikir.

Kami bermalam dulu di hotel airport karena jarak Suzhou-Shanghai cukup jauh dan flight kami jam 10 pagi. Perjalanan kami dari Suzhou ke Shanghai dengan menyewa mobil ternyata Qimonda masih bermurah hati untuk membiayainya dengan masuk ke kategori home trip (mungkin karena mas Nano resmi keluar dari Qimonda tanggal 31 Desember sedangkan kita pulang tanggal 25 Des). Dan ketika kami dipingpong oleh kantor pos China gara-gara urusan karton untuk membungkus paket, kami panik dan akhirnnya tidak jadi memposkan. Dengan langkah gontai kami berjalan menuju loket untuk check in. Tak ada yang mengantar kami seperti ketika kami meninggalkan jerman. Biarlah mungkin barang-barang ini ditinggal atau terpaksa kami bayar overweight itu.

Tapi hampir tak percaya ketika satu persatu 4 koper plus 1 kardus ditimbang, angka timbangan berhenti di 85 kg. Ini tidak mungkin karena di rumah kami menimbang sudah 100 kg lebih dikit. Apalagi ketika kemudian tiket kami berstempel "Executive". Tak percaya, mas Nano menelpon seseorang untuk menjelaskan apakah memang ada kekeliruan di komputer loket. Tapi bukan kekeliruan, yah kami mendapat karunia dari Allah untuk mencicipi kelas executive dengan membeli tiket ekonomi, hadiah dari sobat baik kami. Air mataku tak tertahan tumpah ruah. The miracle travel.




New Email names for you!
Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail.
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/

Friday, January 02, 2009

Merubah jarum jam

Masih ingat betapa tak terbayangkan dengan akal saya ketika baru pertama kali menginjakkan kaki di jerman bahwa kita manusia bisa dengan mudahnya memundurkan atau memajukan jarum jam atas nama Winter/Sommer zeit (Saving daylight). Dan ketika hari ini kami kembali berjalan-jalan di Bandung dan menapaki jalan demi jalan yang begitu lekat di benak kami, rasanya bagaikan memutar kembali jarum jam itu. Sepertinya kami baru lulus dari kampus Ganesha kemudian mencari-cari kesempatan untuk menjadi seorang profesional. Yang membuat kami tersadar bahwa kami sekarang berbeda adalah keberadaan anak-anak kami. Dan disitulah kami juga sadar bahwa waktu tak kembali dia terus maju.

Adna baru bisa masuk sekolah tanggal 12 januari karena sekarang sedang libur semesteran. Dia hanya berpesan pada kami untuk mencarikan sekolah yang besar seperti di Suzhou. Untungnya banyak sekali sekolah-sekolah yang sudah satu kesatuan dari TK hingga SMA di Bandung sehingga bolehlah di mata Adna itu adalah representasi sekolah yang besar. Namun dikarenakan masih libur maka kontak kami dengan para guru belum bisa sekarang.

Urusan mencari rumah juga bukan perkara mudah karena rata-rata rumah yang akan dikontrakkan pemiliknya tidak tinggal di Bandung. Mereka hanya menitipkan pada seseorang yang karena disebabkan liburan Natal dan Tahun baru orang itu tidak di tempat. Dan karena kami betul-betul ingin mendapatkan lokasi terbaik yang memadukan kemudahan akses tempat mas nano bekerja di ITB dan Adna yang sekolah, maka kami survey ke-3 daerah yaitu Sarijadi, Cigadung, dan Arcamanik. Untuk itu kami harus bolak-balik Jakarta-Bandung karena anak-anak tidak kami bawa ke Bandung melainkan tetap stay di Jakarta di rumah eyangnya.

Sejauh ini kondisi di tanah air dalam urusan kepadatan penduduk dan lalu lintas di jalan raya makin meningkat tajam. Tapi untungnya sepertinya ada upaya untuk lebih tertib secara administratif. Seperti untuk membuat KTP dengan cara 'nembak' sudah tidak disarankan lagi oleh para RT. Bahkan secara mekanisme juga dibuat sehingga antara orang yang 'nembak' dan yang tidak sama-sama KTP-nya jadi setelah 2 minggu. Untuk yang pernah buat KTP di Jakarta, rupanya data-data kita sudah tersimpan rapi di kantor kelurahan. Sehingga KTP saya yang sudah terlupa dan hilang sejak urusan bikin paspor dan visa dulu bisa dipanggil lagi dan ketahuan bahwa KTP itu sudah invalid sejak 2,5 tahun lalu. Membuat SIM juga menurut keterangan teman sudah gak bisa lagi 'nembak' seperti beberapa bulan yang lalu.

Semoga akan selalu ada hal-hal yang lebih baik di negeriku tercinta ini.




New Email addresses available on Yahoo!
Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail.
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/