Wednesday, July 16, 2008

Anak TK Belajar Huruf & Angka, Penganiayaan Terselubung

dari sebuah milis:

Anak TK Belajar Huruf & Angka, Penganiayaan Terselubung

Pdpersi, Jakarta - Sebagian Taman Kanak-Kanak telah mengajarkan baca, tulis dan hitung (calistung). Selain melanggar ketentuan, hal itu juga dikhawatirkan akan berpengaruh negatif pada perkembangan jiwa anak bahkan
termasuk dalam tindak penganiayaan (abuse).

Demikian diungkapkan Seto di Jakarta, kemarin. Seto mengungkapkan, berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sidiknas) No 20 tahun 2003, TK masuk dalam sistem pendidikan anak usia dini (PAUD) dengan titik berat pembelajaran moral, nilai agama, sosial, emosional dan kemandirian. Semua nilai-nilai tersebut ditanamkan melalui metode pembiasaan.

UU tersebut, kata Seto, sama sekali tidak menyebutkan TK sebagai sarana persiapan bagi anak sebelum memasuki SD. Begitu pula dengan pembelajaran huruf dan angka, jelas-jelas tidak masuk dalam kurikulum TK. Sehingga,
pendidikan calistung dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap aturan. Namun, lanjut Seto, pada prakteknya, pelanggaran itu terjadi di sebagian besar TK. Hal itu ditenggarai terkait dengan tuntutan mayoritas SD yang mengharuskan calon siswanya telah menguasai calistung.

"Orang tua kemudian balik menuntut pengelola TK. Mereka ingin anaknya dipersiapkan seoptimal mungkin agar tidak terhambat masuk SD. Inilah lingkaran kekeliruan yang pada akhirnya menjadikan anak sebagai korban.
Akhirnya TK bukan menjadi sarana belajar sambil bermain, tapi belajar sambil menangis," kata Seto yang juga anggota Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).

Padahal, kata Seto, secara ilmiah anak-anak dibawah usia sekolah belum siap diajarkan calistung. Anak-anak TK tidak boleh dibebani target, melainkan diberi kesempatan bermain sepuas-puasnya. Sementara, pembelajaran
tentang nilai-nilai kehidupan diberikan dengan metode tematik yang mudah difahami. Seto menegaskan, sebagai upaya mengembalikan hak-hak anak yang dianggap kini terampas oleh sistem pendidikan yang salah, pada 2006
mendatang BSNP akan mengeluarkan regulasi yang merombak sistem pendidikan kelas satu hingga tiga SD. Aturan itu akan merubah sistem pembelajaran berpola tematik, seperti yang diterapkan pada murid TK. Pembahasan
pelajaran akan disederhanakan, disesuaikan sengan usia anak yang masih belia.

Aturan tersebut, kata Seto, kini tengah digodok BSNP dan rencananya tahun depan akan mulai disosialisasikan. Keputusan untuk merombak aturan tersebut didasarkan atas evaluasi BSNP pada muatan kurikulum yang saat ini
berlaku. Kurikulum saat ini dinilai terlalu berat, disertai target dan materi yang tidak sesuai dengan usia anak. "Sekarang ini sekolah menjadi kewajiban yang membebani anak. Padahal, sekolah dan belajar itu hak anak. Itu yang kerap kita lupakan," ujar Seto.

Berdasarkan pengamatan Media di sejumlah TK, selain diajarkan bernyanyi dan keterampilan unuk melatih motorik, setiap harinya murid-murid TK juga mendapat pendidikan mengenal huruf-huruf alfabet serta angka. Bahkan,
anak-anak yang masih berusia empat sampai lima tahun itu juga diharuskan berlatih menuliskannya dalam buku tulis seperti halnya murid SD.

Di TK Kartika Bojong Gede Kabupaten Bogor, seluruh muridnya telah terbiasa membawa buku tulis setiap paginya. Selama tiga jam bersekolah di TK, dari pukul tujuh hingga sepuluh pagi, mereka berlatih menulis dan membaca
hingga merangkainya dalam kata. Begitu pula dengan angka, selain menuliskannya, mereka juga dilatih pertambahan dan pengurangan sederhana.

"Alma sudah bisa baca sedikit-sedikit, diajar mama, tapi di sekolah juga belajar," kata Alma, seorang murid. Nani, orang tua Alma mengaku terkadang merasa kasihan pada anaknya karena kerap harus bersusah payah menghapal
dan menulis. Padahal, memegang pinsil saja, merupakan pekerjaan berat bagi anaknya yang belum genap lima tahun. Kendati begitu, Nani mengaku tak berani menyatakan keberatannya pada pihak sekolah. "Kalau dia tidak bisa
baca tulis, ya susah masuk SD. Semua SD yang ada di sekitar sini memberi tes baca tulis pada setiap anak yang mendaftar. Ada juga yang tidak, tapi SD-nya kurang bagus," kata Nani.

Seorang guru yang mengajar di sebuah TK di Bandung mengaku dirinya kerap harus mengelus dada melihat perjuangan yang harus dilalui anak didiknya saat diajari calistung. Padahal, untuk memusatkan perhatian saja,
murid-muridnya masih kesulitan. "Mereka masih sulit berkonsentrasi. Keinginan bermain jauh lebih besar. Saya sendiri tak tega, tapi ini sudah ketentuan sekolah. Padahal, dulu tidak begini, murid saya yang saya ajar
sepuluh tahun lalu tidak belajar calistung tapi sekarang sudah jadi orang semua," kata guru yang enggan disebut namanya tersebut.


__________________________________________________________
Gesendet von Yahoo! Mail.
Dem pfiffigeren Posteingang.
http://de.overview.mail.yahoo.com

40 comments:

hitrifirdaus - said...

setuju ama kak seto..........kabarnya pendidikan TK di indo makin berat mbak.....mamaku bilang, beliau dengar klo buat masuk TK di indo, anak anak dites dulu.....hiks.............

Ike Hermawan said...

Apa yang salah dengan pendidikan Indonesia ya...?kenapa anak selalu ditekan untuk mampu ini itu...Disini, di negara yang nota bene negara maju, belajar membaca baru kelas 1 SD, di TK tuh anak full bermain, pengenalan huruf dan angka melalui cerita...Di Indo, anak TK diseret-seret untuk bisa membaca, malah ortu berlomba2, terbawa arus...pdhal tau pasti hatinya ga tega maksa anak...apa yang salah dengan pendidikan Indonesia ya...;-(

Tresna Wulan said...

setuju sama kak seto!

teh rani said...

itulah kalo para guru SD tidak mau repot...

Asmanah Beisler said...

lah kak seto kenapa baru berseru sekarang sih,itu kan dah lama terjadi,sampe orang tua berlomba2ngajarin baca tulis,terakhir yg aku tahu tk nya sendiri ngak loh itu tuntutan dr ortu,pengalaman ngajar di sd aku kewalahan krn murid yg gak langsung masuk sd sama sekali buta huruf,dan yg tk dah melek huruf,mo dipisah pihak sekolah kurang dana dan pasilitas.

elsa wolfring said...

saat mudik kemarin saya sengaja membuat dokumenter tentang TK di indo..emang begitu sekarang kenyataannya...guru2 TK merasa ngejar setoran ngajarin muridnya karena tuntutan dari SDnya..mereka tidak hanya belajar calistung tapi belajar juga bahasa inggris...dan akibatnya emaknya nuntut anaknya..yang sebenarnya anak belum mampu menangkap pelajaran yang terlalu berat..tahu nih pendidikan di indo kok kayak begini sekarang..udah mahal lagi.

Ida Widayanti said...

setujuuuuu harus segera disosialisasikan ke seluruh penjuru negeri!

Haneey ZH said...

betul, jadi terkesan guru SD gak mau report ngajarin calistung ya?
aku sendiri jadi dilema, gak tega maksain anak belajar baca & nulis, karena keliatan banget si anak susah banget konsentrasi, dan agak males dengan hal2 yang berbau kata 'belajar' :d
tapi ada kekhawatiran juga, karena SD-SD unggulan rata2 mensyaratkan anak udah bisa baca waktu masuk sekolah.
jalan tengahnya, kalau di rumah, aku ngajarin calistung ke anak sambil main.. (dengan game atau sejenisnya)

IMW IMW said...

Pendidikan mengikuti tantangan jaman. Bukan masalah sebetulnya, anak TK sudah belajar baca tulis hitung. Tapi bagaimana belajarnya itu yang harusnya didiskusikan. Jangan-jangan ini semua karena ortu yang terlalu berambisi. Ndak mau kalah dg anak teman-temannya, terus guru di sekolah di"tekan" utk memberikan calistung. TK yang tak memberikan dianggap tak bermutu, dan anaknya dipindahkan. Hm... fenomena. masyarakat yang merusak pendidikan :-)

Anak saya ? malah dia yang kasihan kalau ndak diajari calistung, sudah bosen kalau itu itu aja, pas TK di Jerman ini. Kalo toh ntar gara-gara calistung ndak beres, dan ndak masuk SD unggulan biar aja, lha bapaknya dulu juga SD kampungan (atap bocor, dinding tanah) toh bisa juga jadi ngajar orang di Jerman he he he he nyantai amat nih ortu. Jangan-jangan anak-anak TK stress gara-gara ortu ngebet anak masuk SD unggulan.

Adna Adam said...

tesnya apa? Kalau tes kesehatan kan sama seperti di Jerman (Attest) :-)

Adna Adam said...

memang, tapi dengar-dengar itu sistem pendidikan di Asia, kecuali TK yang menggunakan sistem Montessori... Jadi bukan hanya di Indonesia. Ada yang punya pengalaman di negara Asia lain?

Adna Adam said...

saya mah setuju mbak Tresna aja deh...

Adna Adam said...

... karena di kelas 1 SD anak-anak harus belajar bahasa Inggris! (di beberapa sekolah begitu yang saya dengar). Kalau di sekolah internasional sih wajar, tapi kalau di sekolah lokal, itu berlebihan!

IMW IMW said...

Sistem pendidikan adalah "hasil" masyarakat. Mengapa suatu model pendidikan di masyarakat tertentu menjadi seperti itu tidak akan lepas dari nilai-nilai dan pengharapan serta tantangan yang ada dii masyarakat. Mencoba memindahkan model pendidikan di negara lain begitu saja, bisa bisa malah menciptakan "stress baru" dari si anak.

Ketika di luar banyak "tukang palak", mau tidak mau si anak harus siap mental dg kondisi itu.

Adna Adam said...

ya berarti memang tidak ada arahannya dari atas, padahal ada UU-nya ya mpok?

Adna Adam said...

ya memang timbal balik guru sama orang tua. Yang tidak dilibatkan cuma anaknya, hehe

Adna Adam said...

UU-nya kan sudah ada mbak, tinggal masyarakatnya. Tapi jangan-jangan trend Asia memang demikian?

Adna Adam said...

memang kan, barangkali itu jalan tengahnya buat Mira.

W Palwono said...

repot bener ya ngurusin anak2 masih kecil untuk bisa baca hitung, banyak yang jadi orang, termasuk anda2 dulu jaman TK nya pas masuk SD pasti belum bisa baca hitung..
ayo ngacung dulu jaman TK nya udah diajarin calistung belummm...(saya duluan ah yg ngacung, ngga pernah diajarin calistung jaman TK)

Adna Adam said...

Apa Dhava nggak jadi tanggung bli, di Jerman bosen, nanti di Indonesia juga bosen? Hehe

IMW IMW said...

Kan tugas ortu mempersiapkan biar dia tidak "jauh dari dunia nyata". Jadi walau sekarang di Jerman kita tetap memperkenalkan kondisi di Indonesia, termasuk suasana sekolah, dsb. Ngeliat anak TK di sana yg banyak kegiatan dia malah semangat tuh.... di Indonesia udah kita daftarkan ke TK yg biasa-biasa aja, yg penting dekat rumah.

Kata "emak" saya ndak perlu nguber sekolah unggulan, ntar malah gaulnya terbatas he he he he

Tresna Wulan said...

nuri/nano... cerita dong... gimana dg tk sistem singapur yg dimasuki oleh adna skarang. mirip indo? ato mirip jerman? kalo mirip indo, lebih berat mana keliatanya: sistem indo ato sistem singapur? sorry yah, gak nanya yg sistem jermannya. pan kalo sistem jerman mah asik2 aja buat anak, main mulu sampe bosen. :)

IMW IMW said...

Sebetulnya di Jerman pun TK itu tidak sama modelnya. Kebetulan anak saya masuk TK yg agak "kuno", di TK itu anak-anak masih diharapkan mengikuti peraturan (harus berbaris, harus diem kalau guru bicara, dan mereka menunggu saatnya harus berbicara, memanggil guru masih pakai Frau). Sedangkan di TK anaknya teman lebih "baru", manggil nama guru boleh langsung dengan nama. Prinsipnya "anak tak boleh dilarang" dsb.

Tapi yg sama ya itu kerjaan anak cuma main. Kasihan juga kadang-kadang sebab dunia itu sekarang sudah berbeda :-) Dan orang Jerman kagetnya pas udah dewasa. Seperit saya kalau ngadepin mahasiswa Jerman bawaannya saya sebel, mending ngadepin mahasiswa Asia deh. Abis pada sering stress dan kurang tahan banting.

Adna Adam said...

beluuummmm

Adna Adam said...

ya, ini saya Nano mbak :-) Nuri kan masih di Gombong.
Adna masuk TK di http://www.ssis-suzhou.net , dari Februari sampai Juni. Nggak tahu itu sebenarnya kurikulum dari mana, mestinya sih diambil dari Singapura karena namanya saja Suzhou Singapore International School.
Hal shock pertama: Adna terbiasa menulis namanya ADNA (semua huruf besar), karena seperti itu dia diajarkan di Jerman. Oleh gurunya dicoret dan diganti Adna. Dia juga harus belajar nulis di buku bergaris-garis baik huruf besar maupun huruf kecil, walaupun nggak ada target hanya sebagai latihan. Adna juga diminta latihan baca cerita sederhana dalam bahasa Inggris, alhamdulillah dia masih punya motivasi belajar bahasa Inggris karena sebelumnya cuma tahu bahasa Jerman. Yang lainnya sih kegiatan melukis, prakarya, olahraga, biasa saja.
Ah kalau lihat "tresnamenulislagi" kok yang kebayang malah mas Ridwan, pakai topi, ngelinting rokok, ngangkat ransel buat tiga anak, hehehe

Perjalanan Kami said...

Adikku cerita usia 6 tahun anaknya ditolak beberapa sekolah, karena kemampuannya dianggap masih kurang untuk masuk SD, juga emosinya....Jadi kasian dengarnya.... kasian kan anaknya secara psikologis mungkin naluri bermainnya masih tinggi, sehingga jika "kurang mampu" membaca atau menulis dianggap belum siap masuk SD....

Tresna Wulan said...

jadi gak ada pelajaran matematika seperti di indonesia? dan apa disana lagi libur skolah? bulan kapan adna masuk sd? ikut ke jawa kah skarang sama nuri?
ps: maaf, nanyanya borongan.:)

Tresna Wulan said...

hehehehe.... bisa aja si mas niy...

IMW IMW said...

Mari kita melihat dari sisi lain. MEkanisme pendidikan itu juga melibatkan "peer" (selevel). Artinya si anak tidak hanya berinteraksii dg bu/pak guru tapi juga dengan teman sekelas. Dalam jumlah siswa yang besar maupun kecil Peer ini akan berperan (apalagi di Indoneisa di mana relasi teman sekelas jauh lebih rapat dibanding di Eropa).

Sekarang bayangkan kalau si kecil masuk di kelas, dan teman sekelasnya semua sudah bisa baca. Dia akan menjadi tertekan (tentu saja ada yg cuwek ada yang tidak). Karena teman-teman sebayanya akan sering ngatain "bego loe ndak bisa baca". Anak anak kadang kejam dengan teman sebaya yang dianggap "kurang mampu".

Sekali lagi tugas ortu membuat "level" ini sama. Sayangnya orut juga yang mendorong dan memaksa level ini yang makin tinggi juga.

Perjalanan Kami said...

Ya akhirnya kayak "vicious cycle", orang tua menuntut anak dan sekolah dengan kriteria yang lebih dini, sehingga mempengaruhi sekolah untuk lebih tinggi kriterianya (memenuhi permintaan "pasar"-- dalam hal ini orang tua). Orang tua yang lebih "rileks" dalam menangani fase tersebut karena ingin melindungi kepentingan fase kanak kanak dan naluri bermainnya jadi kelihatan "salah mendidik anak". Akhirnya meski mengerti dan kasian terhadap anak, "demi memproteksi" kepentingan anak, ortu juga melakukan berbagai cara untuk "menaikkan" level si anak dan memotong waktu bermainnya dengan membaca dan berhitung.... :-( Lingkaran yang tidak berujung......

Di tempat kami (sebagai bandingan) anak-anak yang lamban membaca ternyata mengalami disleksia---mereka diteliti lebih jauh. Jadi bukan bodoh. Dan sekolah serta institusi pendidikan menaruh perhatian pada anak di level terendah, bukan di level tertinggi. Anak yang lebih pandai mendapat tantangan yang lebih banyak dan juga kewajiban sosial untuk membantu anak yang kurang mampu secara akademik, dan tidak pernah diajar "bego lu" pada yang tidak mampu..... (kalau bicara soal relasi sosial yang leih rapat, yang terjadi sebaliknya disini...yang kuat membantu yang lemah). Justru ketika membiarkan keadaan seperti itu, apa tidak sedang memulai bibit bibit individualisme?

IMW IMW said...

Di kampus saya, Uni Bielefeld, ada "Labor Schule" di sekolah ini, pembagian kelas secara konserfativ tidak ada. Artinya lebih pad akerja kelompok. Anak yg lebih "tua" dan lebih pintar akan mengajari adik kelas atau yg kurang. Jadi klasnya campur..

Memang di Indonesia "peer" itu kejam (bego lho, gila lho gitu aja ndak bisa sering kali diungkapkan oleh rekan sebaya). Pertimbangannya, apakah kita mengisolir anak agar tidak tahu itu, atau tahu situasi itu dan bisa mensiasatinya. Bagi yg ingin dg pendekatan isolasi, maka dibentuklah sekolah "ekslusif", sekolah adalah dunia lain dari dunia nyata, di dalam sekolah guru penuh perhatian, peralatan penuh pertimbangan ke amanan (dunia nyata padahal beda sekali di Indonesia). Kalau toh diperkenalkan dg dunia nyata semua dalam "kontrol dan artificial".

Indonesia makin terlena oleh bibit individualisme dan elitisme dalam pendidikan. Sehingga yang lebih disorot adalah puncak-puncak hasil pencapaian pendidikan, bukan pemerataan pendidikan. Ndak heran kan akhirnya banyak ortu yg stress ingin mendorong mencapai puncak, lalu menekan anak hingga stress juga. Masyarakat stress.

Mending jadi pelawak aja.

Adna Adam said...

wah makin seru nih diskusi teh Jaziar dan bli Made. Jadi apakah alternatif yang perlu disarankan (a) ikuti saja arusnya (b) biarlah anak disuruh belajar di TK/sekolah, orang tua di rumah mengimbangi dengan permainan (c) carikan sekolah Montessori (yang mungkin masuk kategori kata bli Made tidak sesuai kenyataan)?

Adna Adam said...

ya belajar matematika ya konsep matematika biasa, paling tambah-tambahan. Di Cina libur dua bulan Juli Agustus. Sekarang Adna dan Adam ikut Nuri di Gombong, nanti Agustus ke Jakarta, insya Allah. September Adna masuk SD...

IMW IMW said...

Kalau yg diajarkan "emak" saya, ndak perlu repot-repot cari sekolah elite. Tambal kekurangan sekolah biasa dg di rumah, dan bila perlu ajak ortu di sekolah tersebut memperbaiki sekolah tersebut, jadi ortu akfit dalam pendidikan anak (bukan anaknya sendiri saja tapi anak-anak), dan tidak hanya berbentuk membayar SPP yang semahal-mahalnya. Bukunya "Schank, out of the line" mungkin menarik buat dibaca-baca.

Emak saya selalu melakukan ini di sekolah-sekolah tempat kami belajar. Saya ingat waktu saya masih klas 2, emak saya aktif mengorganisir ortu untuk memperbaiki sekolah, memperbaiki GAJI guru :-), jaman sebelum ada BP3, atau POMG. Termasuk dari sekolah yg atapnya bocor, lantainya tanah hingga menjadi lantai rapih dan atap tidka bocor dan ada alat-alat utk pelajaran ekstra. Semua tanpa dana tambahan pemerintah.

Kalau emak saya yg relatif pendidikannya tidak setinggi kita-kita (bahkan ndak pernah tinggal di LN) bisa melakukan itu, masak kita ndak bisa sih. Dan kalau itu dilakukan maka pendidikan yang baik akan besar kemungkinannya merata ke seluruh Indonesia he he he he Atau mungkin pemerataan pendidikan sudah tidak begitu penting bagi kita ?

Yang perlu diingat mungkin dalam soal pendidikan, sekolah itu tidak lepas dari masyarakatnya :-)

Perjalanan Kami said...

Iya mas :-)

Asmanah Beisler said...

trademarknya mas ridwan nih hehehehe...:)

Perjalanan Kami said...

Mas kalau saya hidup di Indonesia, sementara mungkin terpaksa harus jadi ortu yang bisa melindungi anak dari kekejaman peer group. Tapi aku juga punya pengalaman yang unik sebagai anak dari keluarga sederhana. Secara tidak langsung ortu mengajaknya untuk tidak harus seperti teman teman lain, jika kita yakin dengan apa yang kita lakukan. Kami enam bersaudara, dan dengan gaji pns pas pasan ortu tidak akan mampu mengirim kami semua sekolah ekstra alias bimbel yang mahalnya minta ampun. Kalau harus menuruti arus, kami sudah keder jika ulangan, karena rekan lain sudah "kursus" duluan. Ortu selalu meyakinkan kami, jika kami belajar dari bahan yang sama tentu kami bisa. Dan ternyata alhamdulillah memang terjalani dengan seluruh keserhanaan kami. Dunia nyata memang "kejam", berada di tengahnya memang berat. Mungkin anak harus belajar dimana menjadi "saya" dimana harus seperti "peer group".
Nah sekarang kalau hidup seperti di Norge ini, kehidupan sekolahnya sesuai dengan kehidupan lingkungan sosial dan tantangan di masa yang akan datang di negeri ini. Tapi kalau pakai standar Indonesia, anak-anakku akan berada di gelas kaca dimana katakanlah kalau sekolah disana, mungkin orang bakal bilang "masak 3 tahun sekolah di luar negeri belum bisa baca", misalnya untuk anak yang umur 6 thn...

IMW IMW said...

Ortu saya sebetulnya mampu utk memasukkan kami ke sekolah di atas rata-rata, disebut kayak juga tidak, tapi "miskin" banget juga tidak. Tetapi ada pertimbangan lain yg menyebabkan memasukkan kami anak-anaknya ke sekolah biasa. Alasannya supaya banyak bergaul dg beragam orang. Kaya, miskin, bodoh, pintar, preman, penakut dsb. Dengan beragamnya pergaulan ini diharapkan kami bisa menjadi "diri kami" bukan hanya mencoba bergaya agar bertahan di dalam kelompoknya.

Prinsip bergaul sebanyak-banyaklah yang diterapkan oleh ortu kami, termasuk kepada teman yg beragama lain, suku lain, bangsa lain, dan dengan gaya hidup lain. Di negara Eropa secara tidak lagnsugn anak-anak diposisikan berada pada suatu kelompok sosial yg terbatas, dan baru sekarang bangsa Eropa menyaadari bahwa masyarakat yg tak terbatas dan sangat heterogen itu ternyata lebih sulit sekali menyikapinya.

Maaf jadi panjang kalau ini diterusin...... ngejar Strassenbahn dulu ah

Perjalanan Kami said...

Minta maafnya sama mas Nano neeh, he he. Tapi mas Nano, soal yang dilontarkan oleh mas nano ini memang menarik. Soal bagaimana ortu kita dulu mengajarkan anak dengan seluruh kendalanya, adalah apa yang dianggap terbaik saat itu. Toh itu semua sudah dilewati dan kita ada di posisi kita masing masing saat ini. Tapi mungkin generasi sekarang terlalu banyak baca futurologi he he jadi khawatir ini dan itu, sehingga anak musti belajar ini dan itu...jadi yang stress semua.....anak, guru, ortu dan masyarakat secara keseluruhan...

design rumahmurah said...

mengenai rencana BSNP TH 2006 itu apakah saat ini (2009) sudah terealisasi dan tersosialisasi???
tapi kok buktinya pelajaran sd sekarang begitu berat ya ( saya melihat dari materi2 pelajaran adik saya yg baru kelas 3 sd)
begitu banyak materi2 yg bahkan dulu kita dapatkan pada waktu kelas 5/6 tapi sekarang sudah diajarkan di kelas 3 sd..

apakah ini bermaksud untuk membuat pelajaran lebih berbobot?? atau malah menyiksa anak dengan materi yg begitu banyak???

mohon pencerahan...