Friday, March 28, 2008

One Child Policy





Kebijakan "satu anak" (one child policy) di China yang
diberlakukan sejak tahun 1979 digunakan untuk
membatasi jumlah penduduk yang sudah 1,3 milyar. Jadi
dengan kebijakan itu diperkirakan pertumbuhan penduduk
hingga 20 tahun mendatang hanya 300 juta saja. Bahkan
untuk suksesnya program ini maka pengguguran (aborsi)
dilegalkan dan sterilisasi pada pasangan usia subur
dianjurkan selain metode KB lain tentunya. Rupanya
selain di bidang medis, pemerintah China juga berusaha
menekan jumlah penduduk lewat jalur pajak. Jadi untuk
kelahiran anak kedua (atau selanjutnya) maka si
pasangan itu harus membayar pajak kepada pemerintah 3
kali gaji tahunan mereka (inget gaji tahunan bukan
gaji bulanan, bow..!).

Tapi ini ternyata hanya berlaku untuk etnik Han saja.
Tapi inget etnik Han ini adalah 95% dari penduduk
China. Sedangkan untuk etnik minoritas (5 % )lainnya
yaitu seperti yang tinggal di Tibet atau etnik yang
tinggal di bagian barat (muslim) peraturan tersebut
tidak berlaku.

Lalu apa dampak nyata di kehidupan sosial mereka?.
Yang jelas dengan kebijakan seperti itu, maka jumlah
anak laki-laki lebih banyak dari perempuan. Karena
kesempatan memiliki anaknya hanya satu dan struktur
sosial yang patriakal maka mereka lebih memilih punya
anak laki-laki dibandingkan perempuan. Untuk itu maka
jika ibu mengandung dan ketahuan bayinya perempuan
maka banyak yang memilih untuk digugurkan. Tapi
perkembangan terakhir menyebutkan USG pada wanita
hamil yang digunakan untuk mengetahui jenis kelamin
janin dlarang. Mungkin untuk menghindari pengguguran
kandungan.

Terus yang kedua anak-anak di China menjadi makhluk
yang betul-betul disayang oleh 3 pasangan
sekaligus(bapak-ibu, kakek-nenek dari kedua belah
pihak). Sangking di'eman-2'-nya itu maka untuk urusan
pengurusan anak tak akan diserahkan ke baby sitter.
Jadi bagi ibu-ibu yang bekerja maka anak mereka akan
diasuh oleh kakek neneknya. Maka tak heran kalau
pagi-pagi atau sore-sore di taman-taman akan ada
parade para kakek-nenek yang mengasuh cucunya yang
masih balita.

Yang ketiga (ini dirasakan langsung oleh kami) karena
kami berwajah Asia dan berjilbab pula maka kami
langsung disangka etnik minoritas mereka yang boleh
punya anak lebih dari satu. So, kalau di playground
mereka selalu ngajak ngomong China nyerocos. Dan kalau
kita gak ngerti dia nulis pake tulisan China. KArena
biasanya memang tiap etnik dialeknya beda tapi
tulisannya sama. Jadi mereka nganggepnya kita hanya
kesulitan mengerti dialek. Padahal tambah dia nulis
tambah kita bingung.

Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com

7 comments:

Asmanah Beisler said...

ha...ha..ha...!

teh rani said...

pantesan etnis cina kalo di Indonesia biasanya beranak banyak,kesempatan kali ya... mumpung bebas pajak anak...

elsa wolfring said...

jangan2 nanti indonesia bisa ngirimim orang tidak hanya untuk pekerja pembatu doang dong..bisa2 dukun beranak yg suka ngaborsipun bisa jadi pahlawan devisa...he..he..

hitrifirdaus - said...

kejamnya pemerintah cina....Temanku yang org cina juga pernah cerita ttg ini....gak berperikemanusiaan pemerintahan mereka......

Tina Martiana said...

aturannya benar2 tidak manusiawi... Tapi kok bisa ya aturan itu berbeda buat sekelompok tertentu?? pada sirik gak tuh?

Adna Adam said...

nggak juga teh, etnis Cina di Asia Tenggara sudah datang jauh hari sebelum Republik Rakyat Cina ada. Memang kebiasaan di Cina sejak dahulu kala adalah mempunyai banyak anak.

Adna Adam said...

Kebayang kalau suatu saat orang Jawa dilarang punya anak lebih dari satu karena kebanyakan orang Jawa, pasti banyak yang ganti nama dari Joko ke Jaka, hihi